Clock

Minggu, 18 Januari 2015

Peranan Bank Umum Syariah Terhadap Perkembangan Perbankan dan Perkembangan Ekonomi Secara Mikro dan Makro


PERANAN BANK UMUM SYARIAHTERHADAP PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN PERKEMBANGAN EKONOMI SECARA MIKRO DAN MAKRO



A.  Sejarah Singkat Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat bagi terwujudnya sistem perbankan yang sesuai syariah, pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil yang secara rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan perundang-undangan tersebut telah dijadikan sebagai dasar hukum beroperasinya bank syariah di Indonesia yang menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia.
Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah.
Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah. Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat perundangundangan tersebut diberlakukan.

B.  Perbankan Syariah Dalam Statistik
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu 1997-1998 merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi sistem perekonomian Indonesia. Dalam periode tersebut, banyak lembaga-lembaga keuangan, termasuk perbankan, mengalami kesulitan keuangan. Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha.
Dari sisi aset, sistem perbankan syariah telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat yaitu sebesar 74% pertahun selama kurun waktu 1998 sampai 2001 (nominal dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp. 2.718 milyar pada tahun 2001). Dana Pihak Ketiga telah meningkat dari Rp. 392 milyar menjadi Rp. 1.806 milyar. Sistem perbankan syariah telah pula mengalami pertumbuhan dalam hal kelembagaan. Jumlah bank umum syariah telah meningkat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 81 BPRS pada akhir tahun 2001. Jumlah kantor cabang dari bank umum syariah dan UUS dari 26 telah meningkat menjadi 51 kantor.
Meskipun pertumbuhan jaringan kantor relatif cepat, namun kontribusi sistem perbankan syariah terhadap sistem perbankan nasional masih kecil (total aset sekitar 0.26% dari total aset perbankan nasional). Berbagai langkah telah dilakukan untuk terus meningkatkan kualitas operasional perbankan syariah yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kepercayaan para pengguna jasa perbankan syariah.
Pembangunan ekonomi tidak lepas dari peranan sektor perbankan sebagai lembaga pembiayaan bagi sektor riil. Pembiayaan yang diberikan sektor perbankan kepada sektor riil berperan meningkatkan produktivitasnya. Meningkatnya produktivitas sektor riil dapat meningkatkan iklim dunia usaha dan investasi yang kemudian akan meningkatkan pendapatan nasional.
Sebagai lembaga intermediasi, sektor perbankan menghubungkan pihak surplus dengan pihak defisit. Pihak surplus atau deposan menyimpan uang di bank dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito. Sedangkan pihak defisit atau debitur meminjam uang dari bank dalam bentuk kredit konvensional dan pembiayaan syariah. Pinjaman tersebut menjadi sarana intermediasi bagi perbankan.
Kepercayaan terhadap lembaga perbankan menjadi sangat penting agar fungsi intermediasi dapat berjalan dengan baik. Fungsi intermediasi yang berjalan dengan baik menciptakan penggunaan dana yang optimal dan efisien. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya aktivitas produktif dari dana yang dipinjamkan sehingga output aktivitas produksi akan meningkat dan lapangan kerja baru yang banyak bermunculan menambah taraf kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat (Muharam dan Pusvitasari, 2007).
Sejak dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Indonesia menerapkan sistem perbankan ganda yaitu bank konvensional dan bank syariah. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999, Bank Indonesia memiliki tugas baru sebagai otoritas moneter ganda yang dapat menjalankan kebijakan moneter konvensional dan syariah. Amandemen UU tersebut meresmikan berlakunya sistem perbankan ganda atau dual banking system di Indonesia. Dunia perbankan baik konvensional maupun syariah semakin berkembang di bawah pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Bank Indonesia.
Jumlah perbankan di Indonesia mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut secara umum disebabkan oleh krisis global yang terjadi di tahun 2008. Krisis menyebabkan banyak bank mengalami kesulitan dalam hal likuidasi. Krisis membuat jumlah BUK mengalami penurunan di tahun 2008 hingga 2011 tetapi jumlah BUK kembali mengalami peningkatan di tahun 2011. Kondisi ini berbeda dengan jumlah BUS yang selalu mengalami peningkatan walaupun di saat krisis. Hal ini dapat membuktikan daya tahan BUS dalam menghadapi masalah krisis.
Dalam sistem konvensional, intermediasi perbankan terjadi melalui sistem kredit. Sebagai intermediator, bank berperan dalam mendorong perekonomian nasional melalui kredit tersebut. Deposan menyimpan uang di bank dan debitur meminjam uang dari bank dengan tingkat bunga yang berlaku. Di sisi lain, bank juga mencari keuntungan melalui selisih antara suku bunga simpanan dan suku bunga kredit setelah diperhitungkan juga biaya overhead dalam proses pemberian kredit. Sistem tersebut juga menempatkan bank konvensional sebagai lembaga yang berorientasi pada profit.
Perbankan konvensional sering kali berada di posisi dilema akibat tingkat bunga yang harus ditetapkan. Deposan sebagai penyedia dana tentunya menginginkan tingkat bunga simpanan yang tinggi atas modal yang mereka simpan sedangkan debitur menginginkan tingkat bunga pinjaman yang rendah agar biaya mereka juga ringan. Hal ini bertolak belakang dengan keinginan bank konvensional yang lebih menyukai membayar bunga simpanan dalam jumlah kecil dan menerima pembayaran bunga kredit dalam jumlah besar. Kondisi tersebut membuat kinerja kredit menjadi kurang efisien sebagai saluran intermediasi dan pendorong perekonomian nasional.
Krisis moneter yang dimulai tahun 1997 merupakan salah satu dampak tidak bekerjanya sistem bunga dengan baik. Tingkat bunga yang tinggi mengakibatkan bank khususnya bank konvensional tidak mampu menyediakan dana likuid untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Selain itu, nasabah peminjam tidak mampu mengembalikan dana yang telah dipinjam karena tingkat bunga yang terlalu tinggi. Tingkat bunga yang tinggi juga mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha. Tingginya tingkat suku bunga mengakibatkan fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan optimal. Kondisi tersebut menyebabkan jatuhnya perbankan nasional dan perekonomian Indonesia. Perbankan dianggap memiliki peran besar dalam memicu krisis moneter saat itu (Abdurohman, 2003).
Pada masa krisis tersebut, sektor moneter tidak berjalan beriringan dengan sektor riil. Sektor moneter berkembang melampaui sektor riil karena uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar tetapi juga sebagai komoditas akibat adanya para spekulan. Hal ini berbeda dengan prinsip syariah yang menggunakan uang hanya sebagai alat tukar. Dengan prinsip syariah, bank umum syariah masih dapat bertahan dan menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan perbankan konvensional. Berdasakan data Bank Indonesia tahun 2002, penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing financing) pada bank syariah lebih rendah dibandingkan bank konvensional.
Sistem profit and lost sharing atau bagi hasil yang diterapkan oleh bank syariah berbeda dengan sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional. Bank konvensional sangat responsif terhadap perubahan tingkat bunga yang memungkinkan terjadinya negative spread sehingga sangat rentan terhadap resiko krisis. Di sisi lain, bank syariah dapat mengurangi resiko krisis melalui sistem bagi hasil yang ditetapkan secara adil. Tidak berlakunya sistem bunga bagi perbankan syariah membuat bank tersebut terhindar dari masalah negative spread, yaitu masalah selisih tingkat bunga simpanan dan pinjaman yang tidak dapat disesuaikan sepenuhnya. Sistem bagi hasil menempatkan debitur sebagai mitra sehingga intermediasi yang terjadi menciptakan ikatan emosional antara pemegang saham, pengelola bank, dan nasabahnya. Setiap individu terlibat dalam pemanfaatan dana tersebut sehingga proyek yang didanai merupakan usaha sektor riil yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Perkembangan perekonomian nasional juga dipengaruhi oleh perkembangan perbankan nasional. Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah yang semakin berkembang di Indonesia baik secara jumlah, kualitas, maupun produk yang ditawarkan akan berdampak terhadap perekonomian. Selain itu, perbedaan sistem operasional kedua bank tersebut juga memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang diberikan yaitu masyarakat semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan sehingga produktivitas sektor keuangan Indonesia semakin meningkat. Di sisi lain, lembaga keuangan yang rentan terhadap resiko dapat mendatangkan permasalah terhadap perekonomian. Permasalahan penting lembaga keuangan yaitu mengenai kualitas kinerja dan kesehatan BUK dan BUS.

C.  Target Pencapaian
Pengembangan perbankan syariah di Indonesia perlu dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan harapan yang beragam para stakeholder perbankan syariah, yaitu:
1.    Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan BPRS;
2.    Bank Indonesia sebagai pengatur dan pengawas bank;
3.    DSN (Dewan Syariah Nasional) dan DPS (Dewan Pengawas Syariah);
4.    Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
5.    Lembaga Keuangan Syariah lainnya: Takaful (Asuransi Syariah), Baitul Mal wat Tamwil, BAZIS dan Perusahaan Sekuritas Syariah;
6.    Lembaga pembuat kebijakan lainnya: Departemen Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM);
7.    Perguruan Tinggi/lembaga akademis yang berkaitan dengan pendidikan ekonomi dan keuangan syariah;
8.    Organisasi dan perusahaan yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan syariah: Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Perhimpunan Bank Syariah Nasional, Bursa Efek Jakarta, perusahaan vendor, dll;
9.    Masyarakat pada umumnya.

Adapun target pencapaian pengembangan sistem perbankan syariah nasional adalah:
1.    Memiliki daya saing yang tinggi dengan tetap berpegang pada nilai-nilai syariah;
2.    Memiliki peran signifikan dalam sistem perekonomian nasional serta perbaikan kesejahteraan rakyat;
3.    Memiliki kemampuan untuk bersaing secara global dengan pemenuhan standar operasional keuangan internasional.

Maju atau tidaknya industri perbankan syariah berada di tangan para pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung merasakan manfaat kehadirannya. Oleh karena itu, kerjasama antar berbagai pihak yang merupakan komponen dari stakeholder merupakan kata kunci dari kemajuan dan kesinambungan operasional industri perbankan syariah dimasa yang akan datang.

D.  Arsitektur Perbankan Indonesia
Dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien untuk mencapai stabilitas sistem keuangan dan mendorong pembangunan ekonomi nasional, Bank Indonesia menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Adapun tujuan dari penyusunan API adalah untuk:
1.    Terciptanya struktur perbankan yang sehat, yang mampu mendorong pembangunan nasional secara berkesinambungan;
2.    Terbentuknya industri perbankan yang memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko;
3.    Terciptanya good corporate governance;
4.    Terbentuknya sistem pengaturan dan pengawasan perbankan yang efektif dan efisien;
5.    Terwujudnya infrastruktur yang lengkap dan dapat mendukung efisiensi operasional sistem perbankan;
6.    Terwujudnya pemberdayaan dan perlindungan konsumen pengguna jasa perbankan.

E.  Prinsip-prinsip Syariah dalam Kegiatan Ekonomi dan Keuangan serta Manfaatnya
Teori ekonomi perusahaan yang selama ini berkembang menekankan pada prinsip memaksimalkan keuntungan perusahaan (shareholder value), namun dewasa ini teori-teori ekonomi tersebut telah mulai bergeser pada sistem nilai yang lebih luas (stakeholder value) dimana manfaat yang didapatkan tidak lagi difokuskan hanya pada pemegang saham, akan tetapi pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat hadirnya suatu unit kegiatan ekonomi. Sistem ekonomi syariah menekankan konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang lebih luas lagi, bukan hanya pada manfaat di setiap akhir kegiatan, akan tetapi juga pada setiap proses transaksi. Setiap kegiatan termasuk proses transaksi harus mengacu pada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas keadilan.
Prinsip ini juga menekankan para pelaku ekonomi untuk selalu menjunjung tinggi etika dan norma hukum dalam kegiatan ekonomi. Sebagai realisasi dari konsep syariah, pada dasarnya sistem ekonomi/perbankan syariah memiliki tiga ciri yang mendasar yaitu prinsip keadilan, menghindari kegiatan yang dilarang dan memperhatikan aspek kemanfaatan. Sistem perbankan syariah, dengan demikian, tidak hanya memfokuskan diri untuk menghindari praktek bunga, akan tetapi juga kebutuhan untuk menerapkan semua prinsip syariah dalam ekonomi secara seimbang. Oleh karena itu, keseimbangan antara memaksimalkan keuntungan dan pemenuhan prinsip syariah menjadi hal yang mendasar bagi kegiatan operasional bank syariah.
Dalam hal pelaksanaannya, prinsip ekonomi syariah akan tercermin dalam nilai-nilai yang secara umum dapat dibagi dalam dua perspektif yaitu mikro dan makro. Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro menekankan aspek kompetensi/profesionalisme dan sikap amanah. Dalam perspektif makro nilai-nilai syariah menekankan aspek distribusi, pelarangan riba dan kegiatan ekonomi yang tidak memberikan manfaat secara nyata kepada sistem perekonomian. Dengan demikian, dapat dilihat secara jelas potensi manfaat keberadaan sistem perekonomian/ perbankan syariah yang ditujukan bukan hanya untuk umat muslim, akan tetapi bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin – rahmat bagi alam semesta).
F.   Tantangan Pengembangan Sistem Perbankan Syariah di Indonesia Pada Saat Ini
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam periode krisis ekonomi, perbankan syariah memiliki daya tahan yang relatif lebih kuat. Berkaitan dengan itu perbankan syariah diharapkan dapat berperan lebih besar dalam proses pemulihan perekonomian Indonesia yang masih terus berlangsung. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang masih berada dalam tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian antara lain:
1.    Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah belum lengkap;
2.    Cakupan pasar masih terbatas;
3.    Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah;
4.    Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif;
5.    Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal;
6.    Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah masih perlu ditingkatkan;
7.    Kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah internasional.

Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro menghendaki bahwa semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati:
1.    Shiddiq, memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan dengan mengedepankan cara-cara yang diperkenankan ( halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram);
2.    Tabligh, secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi pengguna jasa perbankan syariah;
3.    Amanah, menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling percaya antara pihak pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi (mudharib);
4.    Fathanah, memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat risiko yang ditetapkan oleh bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatan dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah).

Nilai-nilai syariah dalam perspektif makro berarti bahwa perbankan syariah harus berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dengan:
1.    Kaidah zakat, mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai berinvestasi dibandingkan hanya menyimpan hartanya. Hal ini dimungkinkan karena zakat untuk investasi dikenakan hanya pada hasil investasi sedangkan zakat bagi harta simpanan dikenakan atas pokoknya;
2.    Kaidah pelarangan riba, menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil (equity based financing) dan melarang riba. Diharapkan produk-produk non riba ini akan mendorong terbentuknya kecenderungan masyarakat untuk tidak bersikap memastikan dan bergeser ke arah sikap untuk berani menghadapi risiko;
3.    Kaidah pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank yang melarang investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil. Kondisi ini akan membentuk kecenderungan masyarakat untuk menghindari spekulasi di dalam aktivitas investasinya;
4.    Kaidah pelarangan gharar, mengutamakan transparansi dalam bertransaksi dan kegiatan operasi lainnya dan menghindari ketidakjelasan.

Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah belum lengkap
Guna mendukung kegiatan operasional yang sehat, perbankan syariah membutuhkan kerangka dan perangkat pengaturan yang sesuai dengan karakteristik operasionalnya. Di awal perkembangannya, kegiatan pengaturan dan pengawasan lembaga perbankan syariah masih menggunakan kerangka pengaturan dan pengawasan sistem perbankan konvensional, walaupun beberapa instrumen pengaturan telah mulai dikembangkan seperti perizinan bagi pendirian bank dan pembukaan kantor; instrumen pasar keuangan antar bank; perangkat penghubung dengan otoritas moneter (sertifikat wadiah Bank Indonesia dan giro wajib minimum); dan sistem pembayaran (UUS wajib memiliki rekening di Bank Indonesia).
Kurang lengkapnya instrumen pengaturan dan pengawasan tersebut akan mengakibatkan perbankan syariah tidak dapat beroperasi secara optimal dan tidak sepenuhnya sesuai dengan karakteristiknya.
Guna menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas perbankan akan melakukan kajian, menyusun dan menyempurnakan instrumen pengaturan yang mencakup beberapa area utama, antara lain:
1.    Penciptaan instrumen-instrumen keuangan serta aturan yang diharapkan akan dapat meningkatkan efisiensi operasional;
2.    Penyusunan sistem peringatan dini (termasuk didalamnya CAMELs rating system) yang dapat menggambarkan risiko operasional untuk menjamin kesinambungan perbankan syariah yang berhati-hati serta konsep pelaporan yang transparan;
3.    Penyusunan rules of conduct bagi pelaku perbankan syariah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas corporate governance. Konsep pengaturan yang akan dikembangkan harus berorientasi pada upaya menjaga kestabilan sistem dan menjamin kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu kajian-kajian konseptual tentang pengaturan perlu dilakukan pada tahap awal pengembangan.

Cakupan pasar masih terbatas
Pada saat ini, sistem perbankan syariah masih memiliki jaringan pelayanan yang masih terbatas. Sampai akhir tahun 2001, pelayanan perbankan syariah hanya tersedia di 51 cabang bank umum syariah dan unit usaha syariah serta 81 kantor BPRS, yang mewakili kurang dari 2% jumlah seluruh kantor bank yang ada di Indonesia. Keterbatasan cakupan operasional pada gilirannya akan menjadi kendala yang cukup signifikan bagi para pengguna jasa perbankan syariah dan mengurangi nilai kenyamanan penggunaan jasa perbankan.
Beberapa tantangan yang telah teridentifikasi guna meningkatkan jaringan kantor dan pelayanan bank syariah adalah sebagai berikut:
1.    Mendukung terciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, terutama bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas atau mendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional;
2.    Penyederhanaan proses administrasi bagi masuknya para pemain baru dapat dilakukan dengan tidak mengurangi prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional perbankan;
3.    Tersedianya informasi pasar/permintaan jasa perbankan syariah;
4.    Tersedianya sumber daya insani yang kompeten dan profesional dalam jumlah yang mencukupi oleh industri perbankan syariah.

Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah
Survei persepsi yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan beberapa universitas di enam propinsi Indonesia (pada tahun 2000 - 2001), menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan akan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah dengan pengetahuan mengenai jenis-jenis produk serta operasional sistem perbankan syariah yang benar Kesenjangan ini mengakibatkan rendahnya laju perpindahan permintaan dari yang bersifat potensial menjadi permintaan riil yang pada akhirnya akan menyebabkan kurang berhasilnya usaha untuk memobilisasi sumber-sumber dana masyarakat yang potensial sebagai dana investasi. Kesenjangan ini pada gilirannya juga akan mempersulit usaha pemasaran dan penjualan produk dan jasa bank syariah.
Beberapa tantangan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para nasabah potensial adalah:
1.    Jumlah penduduk yang besar dan tersebar luas secara geografis dengan latar belakang yang beragam;
2.    Upaya untuk mendidik masyarakat membutuhkan dana dan sumber daya lainnya yang cukup besar;
3.    Dana promosi yang terbatas dari para stakeholder dalam industri perbankan syariah karena masih kecilnya skala operasional industri tersebut.

Salah satu cara pemecahan untuk menjawab tantangan tersebut adalah melalui upaya edukasi kepada publik secara terencana dan terkoordinasi. Dalam upaya edukasi kepada masyarakat, Bank Indonesia dapat mempelajari faktor-faktor penentu keberhasilan beberapa kegiatan nasional seperti ‘Gerakan Tabungan Nasional’ dan ‘Keluarga Berencana’.

Institusi Pendukung yang belum lengkap dan efektif
Institusi pendukung yang lengkap, efektif, dan efisien berperan penting untuk memastikan stabilitas pengembangan perbankan syariah secara keseluruhan. Pada saat ini telah berdiri sejumlah lembaga yang berperan sebagai institusi pendukung perbankan syariah di Indonesia. Diperlukan upaya agar institusi pendukung tersebut lebih efektif dalam melaksanakan fungsinya sehingga memberikan dampak positif terhadap pengembangan perbankan syariah.
Ada beberapa institusi dan fungsi yang perlu dikembangkan untuk melengkapi institusi pendukung yang ada, seperti:
1.    Auditor Syariah, yang memastikan pemenuhan pelaksanaan prinsip syariah oleh bank;
2.    Pasar Keuangan Syariah Internasional, yang merupakan sarana perdagangan instrumen-instrumen keuangan syariah dalam valuta asing yang bermanfaat untuk mengoptimalkan pengelolaan likuiditas perbankan;
3.    Forum Komunikasi Pengembangan Perbankan Syariah (FKPPS) yang mengkoordinasikan upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang perbankan syariah;
4.    Lembaga Penjamin Pembiayaan Syariah, yang memberikan jaminan kepada bank syariah yang mengalami kerugian akibat kelalaian atau kecurangan nasabah yang direkomendasikan oleh lembaga tersebut;
5.    Pusat Informasi Keuangan Syariah, yang berfungsi menghubungkan sektor riil dan sektor pembiayaan syariah dengan menyediakan informasi tentang pola pembiayaan yang tersedia dan perusahaan-perusahaan yang mungkin dibiayai;
6.    Special Purpose Company, yang melakukan sekuritisasi aset bagi bank syariah yang ingin meningkatkan likuiditasnya. Lembaga ini juga menyediakan kesempatan berinvestasi secara syariah kepada bank-bank lainnya dan kepada investor domestik maupun internasional.

Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal
Meskipun secara sistem, perbankan syariah telah menunjukkan kinerja keuangan yang lebih baik, sistem perbankan syariah sementara ini masih memberikan tingkat return yang lebih rendah kepada nasabah dibandingkan dengan yang dapat diberikan oleh perbankan konvensional. Peningkatan efisiensi operasional yang berdampak pada perbaikan tingkat return kepada nasabah tentunya akan memacu para investor untuk bermitra dengan bank syariah yang mana selain mengharapkan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah, juga tentunya mengharapkan tingkat return yang lebih baik. Hal ini tentunya perlu dicermati terutama dalam menghadapi era persaingan global dimana pesaing usaha bukan hanya datang dari industri sejenis, akan tetapi juga dari industri lainnya yang memiliki kemampuan untuk memberikan jasa sejenis. Keterbatasan bankir syariah yang handal, yang menguasai operasional perbankan syariah serta teguh menjalankan prinsip syariah juga merupakan masalah yang mendasar dalam perbaikan kinerja bank syariah. Usaha peningkatan kualitas sumber daya insani akan juga mencakup peningkatan kemampuan manajerial dan operasional bank syariah.
Selain melakukan efisiensi internal, pengembangan sistem perbankan syariah dapat pula menerapkan strategi ekspansi ‘economies of scale’ dan atau ‘economies of scope’. Penerapan strategi ‘economies of scale’ dilakukan secara horisontal dengan meningkatkan cakupan pasar melalui aliansi strategis dengan mitra usaha domestik maupun internasional. Penerapan strategi economies of scope dapat dilakukan dengan menambah kelengkapan instrumen transaksi syariah (termasuk dengan memanfaatkan kemajuan dalam bidang teknologi informasi) sehingga lebih dapat meningkatkan fleksibilitas penerapan jasa keuangan syariah bagi masyarakat.

Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah perlu ditingkatkan
Salah satu manfaat yang dapat dirasakan oleh sistem perekonomian dalam skala yang lebih luas adalah hadirnya konsep bagi hasil dalam transaksi ekonomi. Namun demikian, sampai saat ini porsi pembiayaan bagi hasil masih sangat rendah. Adapun penyebab rendahnya proporsi pembiayaan bagi hasil adalah:
1.    Risiko investasi relatif tinggi karena sulitnya memonitor kegiatan investasi;
2.    Masalah principal-agent, di mana agen (mudharib) tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal (pemilik modal);
3.    Kompetensi SDI (Sumber Daya Insani) perbankan syariah yang masih rendah untuk melakukan investasi pola bagi hasil;
4.    Ketidaktersediaan informasi kinerja bisnis yang mendalam untuk setiap sektor industri yang menjadi target investasi.

Beberapa alternatif yang dapat dilakukan guna meningkatkan porsi skim pembiayaan bagi hasil antara lain:
1.    Identifikasi sumber-sumber dana yang tidak memiliki klaim seperti dana zakat, infaq dan sadaqah agar dapat disalurkan melalui lembaga keuangan yang berkompeten;
2.    Mengurangi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ‘agency problem’ dalam transaksi seperti tersedianya standardisasi kontrak, analisis atas indeksasi kinerja industri;
3.    Peningkatan kompetensi SDI untuk melakukan investasi dengan pola bagi hasil.

Kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah internasional
Industri perbankan/keuangan syariah secara global telah mencapai volume operasi yang cukup signifikan. Tercatat lebih dari 170 lembaga keuangan telah didirikan di lebih 30 negara dengan total aset sebesar US$ 140 miliar pada tahun 1997. Pencapaian volume usaha secara global tersebut merupakan suatu peluang yang baik untuk dimanfaatkan melalui proses aliansi strategis dengan lembaga keuangan yang bertaraf internasional.
Untuk mencapai hal tersebut, perbankan syariah nasional harus mampu beroperasi sesuai dengan norma/standar keuangan syariah internasional. Dengan pemenuhan pada standar keuangan syariah internasional, sistem perbankan syariah nasional juga mendapatkan peluang untuk berpartisipasi dalam Pasar Keuangan Syariah Internasional (IIFM) yang akan beroperasi pada tahun 2003. Selain itu perbankan syariah Indonesia juga dipersiapkan untuk dapat mengadopsi standar internasional operasi perbankan syariah yang akan disusun oleh Islamic Financial Services Board (IFSB) yang berdiri pada tahun 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar