PERANAN BANK UMUM SYARIAHTERHADAP PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN PERKEMBANGAN EKONOMI SECARA MIKRO DAN MAKRO
A. Sejarah
Singkat Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Perkembangan industri keuangan syariah
secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal
sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum tahun
1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah
menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut
menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan
yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah. Untuk menjawab
kebutuhan masyarakat bagi terwujudnya sistem perbankan yang sesuai syariah,
pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru.
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara implisit telah membuka peluang
kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil yang secara
rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan perundang-undangan tersebut telah
dijadikan sebagai dasar hukum beroperasinya bank syariah di Indonesia yang
menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di
Indonesia.
Dalam periode 1992 sampai dengan 1998,
terdapat hanya satu bank umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS)
yang telah beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai
amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum
yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah.
Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah.
Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat
perundangundangan tersebut diberlakukan.
B. Perbankan
Syariah Dalam Statistik
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi
di Indonesia pada kurun waktu 1997-1998 merupakan suatu pukulan yang sangat
berat bagi sistem perekonomian Indonesia. Dalam periode tersebut, banyak
lembaga-lembaga keuangan, termasuk perbankan, mengalami kesulitan keuangan.
Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya biaya modal bagi
sektor usaha.
Dari sisi aset, sistem perbankan syariah
telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat yaitu sebesar 74% pertahun selama
kurun waktu 1998 sampai 2001 (nominal dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi
Rp. 2.718 milyar pada tahun 2001). Dana Pihak Ketiga telah meningkat dari Rp.
392 milyar menjadi Rp. 1.806 milyar. Sistem perbankan syariah telah pula
mengalami pertumbuhan dalam hal kelembagaan. Jumlah bank umum syariah telah
meningkat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi
2 bank umum syariah, 3 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 81 BPRS pada akhir tahun
2001. Jumlah kantor cabang dari bank umum syariah dan UUS dari 26 telah
meningkat menjadi 51 kantor.
Meskipun pertumbuhan jaringan kantor
relatif cepat, namun kontribusi sistem perbankan syariah terhadap sistem
perbankan nasional masih kecil (total aset sekitar 0.26% dari total aset perbankan
nasional). Berbagai langkah telah dilakukan untuk terus meningkatkan kualitas
operasional perbankan syariah yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
kepercayaan para pengguna jasa perbankan syariah.
Pembangunan ekonomi tidak lepas dari
peranan sektor perbankan sebagai lembaga pembiayaan bagi sektor riil.
Pembiayaan yang diberikan sektor perbankan kepada sektor riil berperan
meningkatkan produktivitasnya. Meningkatnya produktivitas sektor riil dapat meningkatkan
iklim dunia usaha dan investasi yang kemudian akan meningkatkan pendapatan
nasional.
Sebagai lembaga intermediasi, sektor
perbankan menghubungkan pihak surplus dengan pihak defisit. Pihak surplus atau
deposan menyimpan uang di bank dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito. Sedangkan
pihak defisit atau debitur meminjam uang dari bank dalam bentuk kredit
konvensional dan pembiayaan syariah. Pinjaman tersebut menjadi sarana
intermediasi bagi perbankan.
Kepercayaan terhadap lembaga perbankan
menjadi sangat penting agar fungsi intermediasi dapat berjalan dengan baik. Fungsi
intermediasi yang berjalan dengan baik menciptakan penggunaan dana yang optimal
dan efisien. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya aktivitas produktif dari
dana yang dipinjamkan sehingga output aktivitas produksi akan meningkat
dan lapangan kerja baru yang banyak bermunculan menambah taraf kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat (Muharam dan Pusvitasari, 2007).
Sejak dikeluarkannya UU No. 10 tahun
1998 tentang Perbankan, Indonesia menerapkan sistem perbankan ganda yaitu bank
konvensional dan bank syariah. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999, Bank Indonesia
memiliki tugas baru sebagai otoritas moneter ganda yang dapat menjalankan
kebijakan moneter konvensional dan syariah. Amandemen UU tersebut meresmikan
berlakunya sistem perbankan ganda atau dual banking system di Indonesia.
Dunia perbankan baik konvensional maupun syariah semakin berkembang di bawah
pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Bank Indonesia.
Jumlah perbankan di Indonesia mengalami
perubahan dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut secara umum disebabkan oleh
krisis global yang terjadi di tahun 2008. Krisis menyebabkan banyak bank mengalami
kesulitan dalam hal likuidasi. Krisis membuat jumlah BUK mengalami penurunan di
tahun 2008 hingga 2011 tetapi jumlah BUK kembali mengalami peningkatan di tahun
2011. Kondisi ini berbeda dengan jumlah BUS yang selalu mengalami peningkatan walaupun
di saat krisis. Hal ini dapat membuktikan daya tahan BUS dalam menghadapi
masalah krisis.
Dalam sistem konvensional, intermediasi
perbankan terjadi melalui sistem kredit. Sebagai intermediator, bank berperan
dalam mendorong perekonomian nasional melalui kredit tersebut. Deposan
menyimpan uang di bank dan debitur meminjam uang dari bank dengan tingkat bunga
yang berlaku. Di sisi lain, bank juga mencari keuntungan melalui selisih antara
suku bunga simpanan dan suku bunga kredit setelah diperhitungkan juga biaya overhead
dalam proses pemberian kredit. Sistem tersebut juga menempatkan bank
konvensional sebagai lembaga yang berorientasi pada profit.
Perbankan konvensional sering kali
berada di posisi dilema akibat tingkat bunga yang harus ditetapkan. Deposan
sebagai penyedia dana tentunya menginginkan tingkat bunga simpanan yang tinggi
atas modal yang mereka simpan sedangkan debitur menginginkan tingkat bunga
pinjaman yang rendah agar biaya mereka juga ringan. Hal ini bertolak belakang
dengan keinginan bank konvensional yang lebih menyukai membayar bunga simpanan
dalam jumlah kecil dan menerima pembayaran bunga kredit dalam jumlah besar.
Kondisi tersebut membuat kinerja kredit menjadi kurang efisien sebagai saluran intermediasi
dan pendorong perekonomian nasional.
Krisis moneter yang dimulai tahun 1997
merupakan salah satu dampak tidak bekerjanya sistem bunga dengan baik. Tingkat
bunga yang tinggi mengakibatkan bank khususnya bank konvensional tidak mampu
menyediakan dana likuid untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Selain itu,
nasabah peminjam tidak mampu mengembalikan dana yang telah dipinjam karena
tingkat bunga yang terlalu tinggi. Tingkat bunga yang tinggi juga mengakibatkan
tingginya biaya modal bagi sektor usaha. Tingginya tingkat suku bunga mengakibatkan
fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan optimal. Kondisi tersebut
menyebabkan jatuhnya perbankan nasional dan perekonomian Indonesia. Perbankan
dianggap memiliki peran besar dalam memicu krisis moneter saat itu (Abdurohman,
2003).
Pada masa krisis tersebut, sektor moneter
tidak berjalan beriringan dengan sektor riil. Sektor moneter berkembang melampaui
sektor riil karena uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar tetapi juga
sebagai komoditas akibat adanya para spekulan. Hal ini berbeda dengan prinsip
syariah yang menggunakan uang hanya sebagai alat tukar. Dengan prinsip syariah,
bank umum syariah masih dapat bertahan dan menunjukkan kinerja yang relatif
lebih baik dibandingkan perbankan konvensional. Berdasakan data Bank Indonesia
tahun 2002, penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing financing)
pada bank syariah lebih rendah dibandingkan bank konvensional.
Sistem profit and lost sharing atau
bagi hasil yang diterapkan oleh bank syariah berbeda dengan sistem bunga yang
diterapkan oleh bank konvensional. Bank konvensional sangat responsif terhadap
perubahan tingkat bunga yang memungkinkan terjadinya negative spread sehingga
sangat rentan terhadap resiko krisis. Di sisi lain, bank syariah dapat
mengurangi resiko krisis melalui sistem bagi hasil yang ditetapkan secara adil.
Tidak berlakunya sistem bunga bagi perbankan syariah membuat bank tersebut
terhindar dari masalah negative spread, yaitu masalah selisih tingkat
bunga simpanan dan pinjaman yang tidak dapat disesuaikan sepenuhnya. Sistem
bagi hasil menempatkan debitur sebagai mitra sehingga intermediasi yang terjadi
menciptakan ikatan emosional antara pemegang saham, pengelola bank, dan
nasabahnya. Setiap individu terlibat dalam pemanfaatan dana tersebut sehingga
proyek yang didanai merupakan usaha sektor riil yang memberikan nilai tambah
bagi perekonomian.
Perkembangan perekonomian nasional juga
dipengaruhi oleh perkembangan perbankan nasional. Bank Umum Konvensional dan
Bank Umum Syariah yang semakin berkembang di Indonesia baik secara jumlah,
kualitas, maupun produk yang ditawarkan akan berdampak terhadap perekonomian.
Selain itu, perbedaan sistem operasional kedua bank tersebut juga memberikan
dampak positif dan negatif. Dampak positif yang diberikan yaitu masyarakat
semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan sehingga produktivitas sektor keuangan
Indonesia semakin meningkat. Di sisi lain, lembaga keuangan yang rentan
terhadap resiko dapat mendatangkan permasalah terhadap perekonomian. Permasalahan
penting lembaga keuangan yaitu mengenai kualitas kinerja dan kesehatan BUK dan
BUS.
C. Target
Pencapaian
Pengembangan perbankan syariah di
Indonesia perlu dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan harapan yang
beragam para stakeholder perbankan syariah, yaitu:
1.
Bank Umum Syariah, Unit Usaha
Syariah dan BPRS;
2.
Bank Indonesia sebagai
pengatur dan pengawas bank;
3.
DSN (Dewan
Syariah Nasional) dan DPS (Dewan Pengawas Syariah);
4.
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
5.
Lembaga Keuangan Syariah lainnya:
Takaful (Asuransi Syariah), Baitul Mal wat Tamwil, BAZIS dan Perusahaan Sekuritas
Syariah;
6.
Lembaga pembuat kebijakan lainnya:
Departemen Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM);
7.
Perguruan Tinggi/lembaga akademis yang
berkaitan dengan pendidikan ekonomi dan keuangan syariah;
8.
Organisasi dan perusahaan yang
berkaitan dengan ekonomi dan keuangan syariah: Masyarakat Ekonomi Syariah
(MES), Perhimpunan Bank Syariah Nasional, Bursa Efek Jakarta, perusahaan
vendor, dll;
9.
Masyarakat pada umumnya.
Adapun target pencapaian
pengembangan sistem perbankan syariah nasional adalah:
1.
Memiliki daya saing yang tinggi dengan
tetap berpegang pada nilai-nilai syariah;
2.
Memiliki peran signifikan dalam sistem
perekonomian nasional serta perbaikan kesejahteraan rakyat;
3.
Memiliki kemampuan untuk bersaing secara
global dengan pemenuhan standar operasional keuangan internasional.
Maju
atau tidaknya industri perbankan syariah berada di tangan para pihak yang
secara langsung ataupun tidak langsung merasakan manfaat kehadirannya. Oleh
karena itu, kerjasama antar berbagai pihak yang merupakan komponen dari stakeholder
merupakan kata kunci dari kemajuan dan kesinambungan operasional industri
perbankan syariah dimasa yang akan datang.
D. Arsitektur
Perbankan Indonesia
Dalam rangka mewujudkan sistem perbankan
yang sehat, kuat dan efisien untuk mencapai stabilitas sistem keuangan dan
mendorong pembangunan ekonomi nasional, Bank Indonesia menyusun Arsitektur
Perbankan Indonesia (API).
Adapun
tujuan dari penyusunan API adalah untuk:
1.
Terciptanya struktur perbankan yang
sehat, yang mampu mendorong pembangunan nasional secara berkesinambungan;
2.
Terbentuknya industri perbankan yang
memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko;
3.
Terciptanya good corporate
governance;
4.
Terbentuknya sistem pengaturan dan
pengawasan perbankan yang efektif dan efisien;
5.
Terwujudnya infrastruktur yang lengkap
dan dapat mendukung efisiensi operasional sistem perbankan;
6.
Terwujudnya pemberdayaan dan
perlindungan konsumen pengguna jasa perbankan.
E. Prinsip-prinsip
Syariah dalam Kegiatan Ekonomi dan Keuangan serta Manfaatnya
Teori ekonomi perusahaan yang selama ini
berkembang menekankan pada prinsip memaksimalkan keuntungan perusahaan (shareholder
value), namun dewasa ini teori-teori ekonomi tersebut telah mulai bergeser
pada sistem nilai yang lebih luas (stakeholder value) dimana manfaat
yang didapatkan tidak lagi difokuskan hanya pada pemegang saham, akan tetapi pada
semua pihak yang dapat merasakan manfaat hadirnya suatu unit kegiatan ekonomi.
Sistem ekonomi syariah menekankan konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang
lebih luas lagi, bukan hanya pada manfaat di setiap akhir kegiatan, akan tetapi
juga pada setiap proses transaksi. Setiap kegiatan termasuk proses transaksi
harus mengacu pada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas keadilan.
Prinsip ini juga menekankan para pelaku
ekonomi untuk selalu menjunjung tinggi etika dan norma hukum dalam kegiatan ekonomi.
Sebagai realisasi dari konsep syariah, pada dasarnya sistem ekonomi/perbankan syariah
memiliki tiga ciri yang mendasar yaitu prinsip keadilan, menghindari kegiatan
yang dilarang dan memperhatikan aspek kemanfaatan. Sistem perbankan syariah, dengan
demikian, tidak hanya memfokuskan diri untuk menghindari praktek bunga, akan
tetapi juga kebutuhan untuk menerapkan semua prinsip syariah dalam ekonomi
secara seimbang. Oleh karena itu, keseimbangan antara memaksimalkan keuntungan
dan pemenuhan prinsip syariah menjadi hal yang mendasar bagi kegiatan
operasional bank syariah.
Dalam hal pelaksanaannya, prinsip
ekonomi syariah akan tercermin dalam nilai-nilai yang secara umum dapat dibagi
dalam dua perspektif yaitu mikro dan makro. Nilai-nilai syariah dalam perspektif
mikro menekankan aspek kompetensi/profesionalisme dan sikap amanah. Dalam
perspektif makro nilai-nilai syariah menekankan aspek distribusi, pelarangan
riba dan kegiatan ekonomi yang tidak memberikan manfaat secara nyata kepada
sistem perekonomian. Dengan demikian, dapat dilihat secara jelas potensi
manfaat keberadaan sistem perekonomian/ perbankan syariah yang ditujukan bukan hanya
untuk umat muslim, akan tetapi bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil
‘alamin – rahmat bagi alam semesta).
F. Tantangan
Pengembangan Sistem Perbankan Syariah di Indonesia Pada Saat Ini
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam
periode krisis ekonomi, perbankan syariah memiliki daya tahan yang relatif
lebih kuat. Berkaitan dengan itu perbankan syariah diharapkan dapat berperan
lebih besar dalam proses pemulihan perekonomian Indonesia yang masih terus
berlangsung. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang
masih berada dalam tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu
mendapatkan perhatian antara lain:
1. Kerangka
dan perangkat pengaturan perbankan syariah belum lengkap;
2. Cakupan
pasar masih terbatas;
3. Kurangnya
pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah;
4. Institusi
pendukung yang belum lengkap dan efektif;
5. Efisiensi
operasional perbankan syariah yang masih belum optimal;
6. Porsi
skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah masih perlu
ditingkatkan;
7. Kemampuan
untuk memenuhi standar keuangan syariah internasional.
Nilai-nilai
syariah dalam perspektif mikro menghendaki bahwa semua
dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola dengan integritas tinggi
dan sangat hati-hati:
1. Shiddiq,
memastikan
bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung
tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan
dengan mengedepankan cara-cara yang diperkenankan ( halal) serta
menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang bersifat
dilarang (haram);
2. Tabligh,
secara
berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip,
produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan sosialisasi sebaiknya tidak
hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, tetapi juga harus mampu
mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi pengguna jasa perbankan syariah;
3. Amanah,
menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang
diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling
percaya antara pihak pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi (mudharib);
4. Fathanah,
memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga
menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat risiko yang ditetapkan oleh
bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatan dan
kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah).
Nilai-nilai
syariah dalam perspektif makro berarti bahwa perbankan
syariah harus berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dengan:
1. Kaidah
zakat, mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai
berinvestasi dibandingkan hanya menyimpan hartanya. Hal ini dimungkinkan karena
zakat untuk investasi dikenakan hanya pada hasil investasi sedangkan zakat bagi
harta simpanan dikenakan atas pokoknya;
2. Kaidah
pelarangan riba, menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil (equity
based financing) dan melarang riba. Diharapkan produk-produk non riba ini
akan mendorong terbentuknya kecenderungan masyarakat untuk tidak bersikap
memastikan dan bergeser ke arah sikap untuk berani menghadapi risiko;
3. Kaidah
pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank yang melarang
investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil. Kondisi ini akan
membentuk kecenderungan masyarakat untuk menghindari spekulasi di dalam
aktivitas investasinya;
4. Kaidah
pelarangan gharar, mengutamakan transparansi dalam bertransaksi dan kegiatan
operasi lainnya dan menghindari ketidakjelasan.
Kerangka dan
perangkat pengaturan perbankan syariah belum lengkap
Guna
mendukung kegiatan operasional yang sehat, perbankan syariah membutuhkan
kerangka dan perangkat pengaturan yang sesuai dengan karakteristik
operasionalnya. Di awal perkembangannya, kegiatan pengaturan dan pengawasan lembaga
perbankan syariah masih menggunakan kerangka pengaturan dan pengawasan sistem
perbankan konvensional, walaupun beberapa instrumen pengaturan telah mulai dikembangkan
seperti perizinan bagi pendirian bank dan pembukaan kantor; instrumen pasar
keuangan antar bank; perangkat penghubung dengan otoritas moneter (sertifikat wadiah
Bank Indonesia dan giro wajib minimum); dan sistem pembayaran (UUS wajib memiliki
rekening di Bank Indonesia).
Kurang
lengkapnya instrumen pengaturan dan pengawasan tersebut akan mengakibatkan
perbankan syariah tidak dapat beroperasi secara optimal dan tidak sepenuhnya
sesuai dengan karakteristiknya.
Guna
menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas perbankan akan
melakukan kajian, menyusun dan menyempurnakan instrumen pengaturan yang
mencakup beberapa area utama, antara lain:
1. Penciptaan
instrumen-instrumen keuangan serta aturan yang diharapkan akan dapat
meningkatkan efisiensi operasional;
2. Penyusunan
sistem peringatan dini (termasuk didalamnya CAMELs rating system) yang
dapat menggambarkan risiko operasional untuk menjamin kesinambungan perbankan syariah
yang berhati-hati serta konsep pelaporan yang transparan;
3. Penyusunan
rules of conduct bagi pelaku perbankan syariah yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas corporate governance. Konsep pengaturan
yang akan dikembangkan harus berorientasi pada upaya menjaga kestabilan sistem
dan menjamin kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah. Oleh
karena itu kajian-kajian konseptual tentang pengaturan perlu dilakukan pada
tahap awal pengembangan.
Cakupan pasar
masih terbatas
Pada
saat ini, sistem perbankan syariah masih memiliki jaringan pelayanan yang masih
terbatas. Sampai akhir tahun 2001, pelayanan perbankan syariah hanya tersedia
di 51 cabang bank umum syariah dan unit usaha syariah serta 81 kantor BPRS, yang
mewakili kurang dari 2% jumlah seluruh kantor bank yang ada di Indonesia.
Keterbatasan cakupan operasional pada gilirannya akan menjadi kendala yang
cukup signifikan bagi para pengguna jasa perbankan syariah dan mengurangi nilai
kenyamanan penggunaan jasa perbankan.
Beberapa
tantangan yang telah teridentifikasi guna meningkatkan jaringan kantor dan
pelayanan bank syariah adalah sebagai berikut:
1. Mendukung
terciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, terutama
bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas atau mendorong
aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya
guna mencapai skala ekonomis operasional;
2. Penyederhanaan
proses administrasi bagi masuknya para pemain baru dapat dilakukan dengan tidak
mengurangi prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional perbankan;
3. Tersedianya
informasi pasar/permintaan jasa perbankan syariah;
4. Tersedianya
sumber daya insani yang kompeten dan profesional dalam jumlah yang mencukupi
oleh industri perbankan syariah.
Kurangnya pengetahuan
dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah
Survei
persepsi yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan beberapa
universitas di enam propinsi Indonesia (pada tahun 2000 - 2001), menunjukkan
adanya kesenjangan antara kebutuhan akan jasa keuangan yang sesuai dengan
prinsip syariah dengan pengetahuan mengenai jenis-jenis produk serta operasional
sistem perbankan syariah yang benar Kesenjangan ini mengakibatkan rendahnya laju
perpindahan permintaan dari yang bersifat potensial menjadi permintaan riil
yang pada akhirnya akan menyebabkan kurang berhasilnya usaha untuk memobilisasi
sumber-sumber dana masyarakat yang potensial sebagai dana investasi. Kesenjangan
ini pada gilirannya juga akan mempersulit usaha pemasaran dan penjualan produk
dan jasa bank syariah.
Beberapa
tantangan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para nasabah potensial
adalah:
1. Jumlah
penduduk yang besar dan tersebar luas secara geografis dengan latar belakang
yang beragam;
2. Upaya
untuk mendidik masyarakat membutuhkan dana dan sumber daya lainnya yang cukup
besar;
3. Dana
promosi yang terbatas dari para stakeholder dalam industri perbankan
syariah karena masih kecilnya skala operasional industri tersebut.
Salah
satu cara pemecahan untuk menjawab tantangan tersebut adalah melalui upaya
edukasi kepada publik secara terencana dan terkoordinasi. Dalam upaya edukasi
kepada masyarakat, Bank Indonesia dapat mempelajari faktor-faktor penentu keberhasilan
beberapa kegiatan nasional seperti ‘Gerakan Tabungan Nasional’ dan ‘Keluarga
Berencana’.
Institusi
Pendukung yang belum lengkap dan efektif
Institusi
pendukung yang lengkap, efektif, dan efisien berperan penting untuk memastikan
stabilitas pengembangan perbankan syariah secara keseluruhan. Pada saat ini
telah berdiri sejumlah lembaga yang berperan sebagai institusi pendukung
perbankan syariah di Indonesia. Diperlukan upaya agar institusi pendukung
tersebut lebih efektif dalam melaksanakan fungsinya sehingga memberikan dampak
positif terhadap pengembangan perbankan syariah.
Ada
beberapa institusi dan fungsi yang perlu dikembangkan untuk melengkapi
institusi pendukung yang ada, seperti:
1. Auditor
Syariah, yang memastikan pemenuhan pelaksanaan prinsip
syariah oleh bank;
2. Pasar
Keuangan Syariah Internasional, yang merupakan sarana
perdagangan instrumen-instrumen keuangan syariah dalam valuta asing yang
bermanfaat untuk mengoptimalkan pengelolaan likuiditas perbankan;
3. Forum
Komunikasi Pengembangan Perbankan Syariah (FKPPS) yang
mengkoordinasikan upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat
tentang perbankan syariah;
4. Lembaga
Penjamin Pembiayaan Syariah, yang memberikan jaminan kepada
bank syariah yang mengalami kerugian akibat kelalaian atau kecurangan nasabah
yang direkomendasikan oleh lembaga tersebut;
5. Pusat
Informasi Keuangan Syariah, yang berfungsi menghubungkan
sektor riil dan sektor pembiayaan syariah dengan menyediakan informasi tentang
pola pembiayaan yang tersedia dan perusahaan-perusahaan yang mungkin dibiayai;
6. Special
Purpose Company, yang melakukan sekuritisasi aset bagi
bank syariah yang ingin meningkatkan likuiditasnya. Lembaga ini juga menyediakan
kesempatan berinvestasi secara syariah kepada bank-bank lainnya dan kepada
investor domestik maupun internasional.
Efisiensi
operasional perbankan syariah yang masih belum optimal
Meskipun
secara sistem, perbankan syariah telah menunjukkan kinerja keuangan yang lebih
baik, sistem perbankan syariah sementara ini masih memberikan tingkat return
yang lebih rendah kepada nasabah dibandingkan dengan yang dapat diberikan
oleh perbankan konvensional. Peningkatan efisiensi operasional yang berdampak
pada perbaikan tingkat return kepada nasabah tentunya akan memacu para
investor untuk bermitra dengan bank syariah yang mana selain mengharapkan jasa
keuangan yang sesuai dengan syariah, juga tentunya mengharapkan tingkat return
yang lebih baik. Hal ini tentunya perlu dicermati terutama dalam menghadapi era
persaingan global dimana pesaing usaha bukan hanya datang dari industri sejenis,
akan tetapi juga dari industri lainnya yang memiliki kemampuan untuk memberikan
jasa sejenis. Keterbatasan bankir syariah yang handal, yang menguasai
operasional perbankan syariah serta teguh menjalankan prinsip syariah juga merupakan
masalah yang mendasar dalam perbaikan kinerja bank syariah. Usaha peningkatan
kualitas sumber daya insani akan juga mencakup peningkatan kemampuan manajerial
dan operasional bank syariah.
Selain
melakukan efisiensi internal, pengembangan sistem perbankan syariah dapat pula
menerapkan strategi ekspansi ‘economies of scale’ dan atau ‘economies
of scope’. Penerapan strategi ‘economies of scale’ dilakukan secara
horisontal dengan meningkatkan cakupan pasar melalui aliansi strategis dengan mitra
usaha domestik maupun internasional. Penerapan strategi economies of scope dapat
dilakukan dengan menambah kelengkapan instrumen transaksi syariah (termasuk
dengan memanfaatkan kemajuan dalam bidang teknologi informasi) sehingga lebih
dapat meningkatkan fleksibilitas penerapan jasa keuangan syariah bagi
masyarakat.
Porsi skim
pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah perlu ditingkatkan
Salah
satu manfaat yang dapat dirasakan oleh sistem perekonomian dalam skala yang
lebih luas adalah hadirnya konsep bagi hasil dalam transaksi ekonomi. Namun
demikian, sampai saat ini porsi pembiayaan bagi hasil masih sangat rendah.
Adapun penyebab rendahnya proporsi pembiayaan bagi hasil adalah:
1. Risiko
investasi relatif tinggi karena sulitnya memonitor kegiatan investasi;
2. Masalah
principal-agent, di mana agen (mudharib) tidak selalu bertindak
sesuai dengan kepentingan prinsipal (pemilik modal);
3. Kompetensi
SDI (Sumber Daya Insani) perbankan syariah yang masih rendah untuk melakukan
investasi pola bagi hasil;
4. Ketidaktersediaan
informasi kinerja bisnis yang mendalam untuk setiap sektor industri yang
menjadi target investasi.
Beberapa
alternatif yang dapat dilakukan guna meningkatkan porsi skim pembiayaan bagi
hasil antara lain:
1. Identifikasi
sumber-sumber dana yang tidak memiliki klaim seperti dana zakat, infaq
dan sadaqah agar dapat disalurkan melalui lembaga keuangan yang
berkompeten;
2. Mengurangi
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ‘agency problem’ dalam
transaksi seperti tersedianya standardisasi kontrak, analisis atas indeksasi
kinerja industri;
3. Peningkatan
kompetensi SDI untuk melakukan investasi dengan pola bagi hasil.
Kemampuan untuk
memenuhi standar keuangan syariah internasional
Industri
perbankan/keuangan syariah secara global telah mencapai volume operasi yang
cukup signifikan. Tercatat lebih dari 170 lembaga keuangan telah didirikan di
lebih 30 negara dengan total aset sebesar US$ 140 miliar pada tahun 1997. Pencapaian
volume usaha secara global tersebut merupakan suatu peluang yang baik untuk
dimanfaatkan melalui proses aliansi strategis dengan lembaga keuangan yang
bertaraf internasional.
Untuk
mencapai hal tersebut, perbankan syariah nasional harus mampu beroperasi sesuai
dengan norma/standar keuangan syariah internasional. Dengan pemenuhan pada standar
keuangan syariah internasional, sistem perbankan syariah nasional juga
mendapatkan peluang untuk berpartisipasi dalam Pasar Keuangan Syariah
Internasional (IIFM) yang akan beroperasi pada tahun 2003. Selain itu perbankan
syariah Indonesia juga dipersiapkan untuk dapat mengadopsi standar internasional
operasi perbankan syariah yang akan disusun oleh Islamic Financial Services
Board (IFSB) yang berdiri pada tahun 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar